hanya logo lbh digitek
LBH Digitek
FORMULASI PEMBAHARUAN DALAM RENCANA REVISI UU INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK YANG AKAN DATANG
  1. Memahami Kondisi UU ITE saat ini

Semakin berkembangnya penggunaan internet dan teknologi informasi sebagai media untuk bertransaksi dan berkomunikasi elektronik, maka akan semakin menjadikannya lebih mudah dan cepat. Di sisi lain, juga memunculkan dampak yang besar terhadap meningkatnya kejahatan di dunia cyber. Keamanan Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan Kejahatan ITE selalu beradu dalam berbagai persoalan terkait dengan Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Sesuai dengan penjelasan pada UU ITE, Pemanfaatan Teknologi Informasi, media, dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi Informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum.

UU ITE dipersepsikan sebagai cyberlaw di Indonesia, yang diharapkan bisa mengatur segala urusan dunia siber, termasuk di dalamnya memberi hukuman terhadap pelaku cybercrime. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE tidak semata-mata ditujukan kepada subjek hukum tertentu, tetapi ditujukan terhadap setiap orang sebagai penegasan frasa “setiap orang yang dengan sengaja melakukan tindak pidana penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Pemerintah menganggap UU ITE merupakan bentuk perlindungan umum (general prevention) yang diberikan oleh negara kepada setiap orang.

Sebagai sebuah produk hukum, UU ITE memperkenalkan beberapa konsep hukum baru yang selama ini kerap menimbulkan polemik bagi para pihak yang terkait dengan penggunaan transaksi elektronok melalui media telekomunikasi dan teknologi informasi dalam hal ini internet dan komputer. UU ITE juga merupakan terobosan hukum yang dianggap mampu mendorong perkembangan informasi dan teknologi (IT), dunia usaha dan bahkan kepentingan publik sehingga mampu mewujudkan fungsi hukum sebagai alat rekayasa social. Di sisi lain, UU ITE ini merespon bentuk tindak pidana penipuan dimana hal tersebut saat ini semakin berkembang mengikuti perkembangan zaman dan kemajuan teknologi. Aturan hukum ini dibuat untuk mengantisipasi hal tersebut namun aturan yang ada rupanya tidak membuat tindak pidana tersebut semakin berkurang tetapi mengalami peningkatan.

Permasalahan sebenarnya dari amanat Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik adalah penafsiran secara subjektif baik oleh masyarakat maupun penegak hukum sehingga banyak terjadi polemik dalam penerapan Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Teknologi Informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum. Disinilah pentingnya kegiatan pengabdian di masyarakat.

  1. Konstruksi Pemahaman secara Komprehensif mengenai UU ITE dan Penerapan Pemidanaan yang Inkonsisten

Gagasan Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tentunya menjadi salah satu opsi dalam mewujudkan sistem hukum yang tepat dalam prinsip Negara hukum. Hal inilah yang seyogyanya diciptakan dalam prinsip setiap peraturan perundang-undangan. Namun yang harus dipedomani jika peraturan perundangundnagan sudah sah, maka penolakan masyarakat tentunya tidak perlu ada. Peraturan perundang-undangan harus dipatuhi setiap lapisan masyarakat dalam upayanya menjamin kepastian hukum yang berkeadilan. Opsi jika tidak ada kesepakatan adalah melalui jalur konstitusional. Berangkat dari sinilah maka team penelitian pelu membantu pemerintah untuk memberikan pemahaman bagi masyarakat atas. Adanya pemahaman yang menyeluruh akan menjadikan adanya terima setiap produk peraturan perundang-undangan menjadi baik terlepas dari masalah dalam proses penegakan hukum atau law enforcement. Masalah penegakan hukum tentunya menjadi masalah yang berbeda dari sisi penerapan hukum yang diterapkan.

Salah satu yang diperhatikan adalah pengabdian pada generasi muda akan memutus mata rantai ketidakpahaman suatau generasi ke generasi selanjutkan terkait suatu norma dalam peraturan perundang-undangan. Hasil pengabdian yang dilakukan banyak pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari peserta kegiatan pengabdian terkait pelaksanaan undang-undang selama ini. Bagi mereka kebanyakan Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, lebih banyak menekankan adanya pemahaman yang selama ini terjadi bahwa peraturan tersebut sebagai pasal karet yang berpotensi menjebak siapun juga. Padahal tentunya tidak demikian yang ada dalam subtansi Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai instrument perlu dibedakan antara rule of law dan law enforcement atau dengan kata lain dari sisi peraturan dan penegakan hukum. Prinsip-prinsip yang ada dalam peraturan tentunya membutuhkan pemahaman dari sisi peraturan yang acap kali berbeda dengan sisi penegakan. Oleh karenan itu memang yang menjadi evaluasi ketika suatu peraturan dibentuk norma yang ada harus menghindari delapan praktik yang salah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, yang di antaranya adalah:

  • Laws should be general. Harus ada aturan-aturan sebagai pedoman dalam pembuatan keputusan sehingga perlunya sifat tentang persyaratan sifat keumuman. Aturan- aturan ini menjadi pedoman kepada otoritas sehingga keputusan otoritatif tidak dibuat atas suatu dasar ad hoc dan atas dasar kebijakan yang bebas, melainkan atas dasar aturan-aturan yang umum.
  • They should be promulgated, that citizens might know the standards to which they are being held. Setiap aturan-aturan yang menjadi pedoman bagi otoritas tidak boleh dirahasiakan melainkan harus diumumkan (publikasi). Persyaratan bahwa hukum harus dipromulgasi (dipublikasikan) karena orang tidak akan mematuhi hukum yang tidak diketahui oleh pihak yang menjadi sasaran penerapan hukum (norm adressaat).
  • Retroactive rule-making and application should be minimized. Aturan-aturan harus dibuat untuk menjadi pedoman bagi kegiatan di masa mendatang sehingga hukum diminimalisasi berlaku surut.
  • Laws should be understandable. Hukum harus dibuat agar dapat dimengerti oleh rakyat.
  • Free of contradiction. Aturan-aturan tidak boleh bertentangan satu sama lain baik secara vertikal maupun horizontal.
  • Laws should not require conduct beyond the abilities of those effected. Aturan-aturan tidak boleh mensyaratkan perilaku atau perbuatan di luar kemampuan pihak-pihak yang terkena akibat hukum, artinya hukum tidak boleh memerintahkan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan.
  • They should remain relatively constant through time. Hukum tidak boleh diubah sewaktu-waktu, sehingga hukum harus tegas.
  • They should be a congruence between the laws as announced and their actual administration. Hukum harus ada konsistensi antara aturan-aturan sebagaimana yang diumumkan dengan pelaksanaan kenyataannya.
  1. Disparitas dalam Perlindungan Kebebasan Berekspresi

Disparitas yang menyebabkan inkonsistensi, tidak dapat dilepaskan dari rumusan undang-undang yang berlaku. Ini menjadi sumber tidak langsung dari disparitas dan inkonsistensi. Terdapat empat permasalahan dalam rumusan Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang menjadi ancaman dalam kebebasan berekspresi. Pertama, norma yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik sama dengan beberapa pasal-pasal mengenai penghinaan dalam KUHP, dan ini merupakan bentuk overcriminalization.

Kedua, jika melihat dari rumusan pasal tersebut maka timbul kerancuan siapa yang hendak dipidana. Rumusan Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dapat diartikan dua perbuatan pidana, yaitu orang yang menyampaikan data atau informasi elektronik yang memuat penghinaan yang hendak dipidana, dan orang yang menyebarkan data atau informasi elektronik yang memuat penghinaan secara melawan hukum yang hendak dipidana.

Ketiga, penjelasan unsur “membuat dapat diakses” dalam penjelasan UndangUndang Informasi dan Transaksi Elektronik menimbulkan kerancuan karena perbuatan untuk menyebarkan suatu informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik kepada pihak lain atau publik selain dengan cara mendistribusikan dan mentransmisikan melalui sistem elektronik masuk dalam kategori ini. Hal ini membuka penafsiran bahwa selain cara-cara online, maka cara offline pun dapat dipandang sebagai perbuatan membuat dapat diakses.

Keempat, perumusan pasal tersebut mencampuradukkan tindak pidana penghinaan dengan tindak pidana pencemaran nama baik dan tindak pidana fitnah. Oleh karenanya perumusan tersebut bertentangan dengan tidak memenuhi kriteria standar tinggi, kejelasan, aksesibilitas, dan menghindari ketidakjelasan rumusan sebagaimana dimaksud dalam International Covenant on Civil and Politic Right. Permasalahan dalam perumusan ini menjadi ancaman bagi perlindungan hak atas kebebasan berekspresi di Indonesia.

Ketidaktepatan perumusan Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dan kebebasan hakim dalam menginterpretasikan unsur-unsur pasal tersebut, membuat terjadinya inkonsistensi dalam perlindungan kebebasan berekspresi. Hakim dalam hal ini berhati-hati dalam menginterpretasikan dan menerapkan unsurunsur dalam Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 UndangUndang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sebaliknya dalam Putusan Nomor 822K/Pid. Sus/2010; Putusan Nomor 324/Pid.B/2014/ PN.SGM; Putusan Nomor 196/Pid.sus//2014/ PN.BTL; Putusan Nomor 382/Pid.Sus/2014/ Pn.Yky; Putusan Nomor 292/Pid.B/2014/PN.Rbi; Putusan Nomor 33/PID.B/2014/PN.DPU; Putusan Nomor 116/PID/2011/PT.DPS; dan Putusan Nomor 1933/Pid.Sus/B/2016/PN.Mks, merupakan ancaman terhadap kebebasan berekspresi. Hakim dalam hal ini tidak tepat dan cermat menginterpretasikan unsur-unsur dalam Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Disparitas tersebut bahkan lebih condong menjadi ancaman atas kebebasan berekspresi bagi pengguna internet.

Perkembangan teknologi yang cepat tanpa diikuti dengan perubahan pemikiran dari aparat penegak hukum terutama hakim, sehingga pasal penghinaan menjadi ancaman bagi kebebasan berekspresi. Hampir setiap tahun Komisi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa dalam resolusinya tentang kemerdekaan berekspresi, selalu menyerukan keprihatinannya terhadap berlangsungnya penyalahgunaan dari ketentuan hukum mengenai tindak pidana penghinaan, karena ketentuan ini sering sekali dipergunakan untuk mengkebiri penyampaian kritik kepada pemerintah. Perkembangan teknologi melalui sosial media menyebabkan apa yang disampaikan oleh warga negara kepada masyarakat bukan hanya mengenai pendapat atau kritik terhadap pemerintah, namun hal-hal yang menjadi percakapan sehari-hari. Dalam putusan-putusan pengadilan yang diteliti tersebut sebagian besar perkara tersebut berkaitan dengan penyampaian pendapat dan emosi atas kejadian sehari-hari, dan bukan kritik terhadap pemerintahan yang disampaikan secara online melalui media sosial.

Perkembangan teknologi membuat batas antara ruang publik dengan ruang privat menjadi kabur, demikian pula dengan perkembangan teknologi yang memberikan kemudahan bagi pengguna internet untuk menyebarkan ekspresi mereka dengan hanya menggunakan jari. Namun perkembangan ini belum diikuti dengan perubahan cara pandang aparat penegak hukum, terutama hakim. Akibatnya Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik kerap kali dipergunakan untuk memidana penyampaian ekspresi dan emosi pengguna internet yang sesungguhnya tidak menimbulkan bahaya/kerugian yang signifikan.