Oleh LBH Digital Teknologi Informasi
Terhitung sejak akhir bulan Juli 2022, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) resmi menerapkan ketentuan yang terkait dengan Penyelenggaran Sistem Elektronik Lingkup Privat, yaitu Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020. Peraturan ini memberlakukan kewajiban bagi penyelenggara sistem elektronik seperti Tokopedia, Netflix, Google, Twitter, bahkan penyedia game online seperti Epic Game Store dan Steam, untuk mendaftarkan perusahaan mereka untuk kepentingan pemberian akses terhadap sistem elektronik dan/atau data elektronik untuk kepentingan pengawasan dan penegakan hukum pidana. Fondasi dari ketentuan ini ialah dimulai dari Pasal 21 sampai dengan Pasal 46. Tidak hanya Kementerian atau Lembaga yang dapat mengakses Data Elektronik, namun aparat penegak hukum disini juga diberikan kewenangan untuk dapat mengakses Data Elektronik, terlebih untuk kepentingan penegakan hukum pidana.t
Menarik ketika secara cermat membedah isi pasal-pasal yang termuat di dalam Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 ini, karena secara garis besar terlihat Pemerintah lewat Kementerian Komunikasi dan Informasi serta aparat penegak hukum ingin memberikan kepastian perlindungan secara yuridis normative bagi warga negara Indonesia dalam aspek hukum siber. Namun jika dikaji lebih dalam lagi, campur tangan Pemerintah dan aparat penegak hukum dalam ruang digital dan siber terutama dalam akses data pribadi serta kegiatan warga negaranya sendiri berpontensi menjadi ancaman bagi kebebasan berpendapat masyarakat Indonesia itu sendiri.
Berdasarkan keterangan dari Kementerian Komunikasi dan Informasi setelah aturan Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 resmi diterapkan terhadap berbagai perusahaan penyelenggara sistem elektronik lingkup privat, penerapan aturan ini adalah “demi memberikan keamanan ruang digital masyarakat Indonesia, agar Pemerintah mengetahui layanan apa yang diberikan” . Selain itu, Kementerian Kominfo juga membantah bahwa mereka dapat mengintip atau melihat isi dari email dan pesan teks WhatsApp masyarakat Indonesia dengan bebas, melainkan perlu adanya legalitas serta tujuan yang jelas . Namun, dalam ketentuan dalam Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 itu sendiri, tidak disebutkan secara spesifik terkait tujuan jelas yang dimaksud. Pertama, kepentingan pengawasan yang akan dilakukan baik oleh Kementerian, Lembaga, atau aparat penegak hukum tidak diberikan penjelasan yang lebih lanjut terkait bagaimana pengawasan akan dilakukan atas perusahaan penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dan asas proporsionalitas seperti apa yang dimaksud oleh Pemerintah terkait pengawasan terhadap sistem dan/atau data elektronik.
Hal ini semakin pelik manakala ketentuan akses data elektronik juga nyatanya dapat diakses oleh Aparat Penegak Hukum untuk kepentingan penegakan hukum pidana. Dalam perjalanannya, tidak jarang kita temukan beberapa kasus yang berhubungan dengan Aparat Penegak Hukum di ranah digital dan siber, dengan dalih terjadi tindak pidana atau pelanggaran di dunia digital, kemudian secara bebas dapat mengakses data elektronik terduga pelaku tindak pidana siber baik melalui platform media sosial seperti Twitter, Facebook, WhatsApp, atau melalui pengaksesan data elektronik perusahaan PSE lainnya.
Hal yang telah disebutkan diatas memunculkan keraguan dan ambiguitas di tengah masyarakat Indonesia. Berangkat dari aturan ini, sangatlah mungkin ketika pihak – pihak yang mempunyai kepentingan di Pemerintah menggunakan ketentuan di Permenkominfo ini untuk bertindak tidak sejalan dengan aturan yang berlaku dan mengancam hak kebebasan berpendapat tiap individu. Tidak adanya jaminan mengenai apakah Pemerintah dapat objektif dan transparan dalam melakukan pengawasan membuat hal ini jelas menjadi suatu permasalahan.
Argumen penegakan hukum pidana yang termuat dalam peraturan Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 juga membuka celah terjadinya multitafsir serta kesepihakan dari Aparat Penegak Hukum dalam menentukan mengenai tindak pidana yang diduga dilakukan oleh seseorang di dunia digital dan siber. Hal seperti ujaran kebencian dan pencemaran nama baik merupakan hal yang tidak asing di telinga masyarakat jika dikaitkan dengan ranah digital. Potensi represifitas aparat penegak hukum terhadap hak kebebasan berpendapat setiap individu juga dimungkinkan dengan aturan ini, yaitu di Pasal 9 mengenai hal yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum. Permasalahan serta kontroversi dari masyarakat akan muatan dan agenda dari Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 ini seharusnya menjadi bahan introspeksi serta pembelajaran baik bagi pembuat undang – undang, maupun bagi Pemerintah bahwa perlu adanya pernyataan yang jelas mengenai hal hal apa saja yang dapat dimaknai sebagai “hal yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum”.
Ambiguitas dan potensi multitafsir terkait frasa ini tidak heran membuat beberapa platform perusahaan PSE seperti WhatsApp, Facebook, Instagram dll, enggan untuk mendaftarkan perusahaan mereka ke Kementerian Kominfo, walaupun pada akhirnya mereka sepakat untuk mendaftarkan diri. Selain itu transparansi serta keterbukaan terkait proses pengawasan dan penegakan hukum pidana oleh Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum disini menjadi hal yang tidak bisa ditawar kembali. Hal ini tentunya demi mencegah akan jatuhnya korban salah tangkap dan represifitas dari Pemerintah dan Aparat Penegak Hukum. Perlu adanya lembaga pengawasan independen yang fungsi utamanya untuk memastikan agar pengawasan yang dilakukan berjalan sesuai aturan dan akuntabel, serta penegakan hukum pidana yang dimaksud adalah bentuk berjalannya sistem hukum yang berlaku di Indonesia, dan bukan sebagai ajang ancaman terhadap kebebasan berpendapat.